Wednesday, January 11, 2017

Seri Pejuang dan Pahlawan Hak Asasi Manusia: Raden Adjeng Kartini (1879–1904)


       Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Wanita yang lebih dikenal dengan nama R.A. Kartini ini adalah putri pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (bupati Jepara) dan M.A. Ngasirah. Kartini wafat pada tanggal 17 September 1904 dalam usia muda, 25 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang (Jawa Tengah), kota yang letaknya tidak jauh dari Jepara.
       Sebagai anak seorang bupati sekaligus berasal dari keluarga bangsawan (Jawa), Kartini dapat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi untuk ukuran seorang perempuan pada zamannya. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Dari pendidikannya, ia mampu menguasai bahasa Belanda. Berkat kemampuannya berbahasa Belanda yang baik ini, ia mampu melakukan surat-menyurat dengan sahabat-sahabat pena Belandanya. Dalam surat-suratnya ia berbicara mengenai banyak hal, terutama kedudukan dan kehidupan kaum perempuan.

1.    Bermula dari Bacaan
       Dengan penguasaan bahasa Belanda yang baik pula, Kartini dapat memperluas pengetahuan dengan membaca berbagai buku, majalah, dan surat kabar berbahasa Belanda. Kartini rajin membaca dan mengikuti pemikiran-pemikiran progresif para penulis wanita Eropa. Kartini juga menulis dan mengirimkan tulisannya ke majalah berbahasa Belanda –– salah satu tulisannya dimuat di majalah De Hollandsche Lelie.
       Perhatian Kartini tidak hanya tertuju pada soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Sebelum berusia 20 tahun, Kartini sudah membaca buku-buku bermutu tinggi dari para penulis Belanda. Ia, antara lain, membaca Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli (Douwes Dekker), De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de Jong Van Beek, dan roman antiperang Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) karya Berta Von Suttner.
       Dari kegemarannya membaca, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Ia merasakan perbedaan yang jauh antara kondisi perempuan Eropa dan perempuan pribumi. Perempuan Eropa sudah demikian maju kedudukan dan pemikirannya, sementara perempuan pribumi terbelenggu dalam ketertinggalan serta berada pada status sosial yang rendah.

2.    Mengeluarkan Perempuan dari Kungkungan Adat
       Pengalaman mengikuti berbagai pemikiran maju dari bahan bacaan menyebabkan Kartini tergiring pada pergulatan pemikiran tentang nasib perempuan pribumi. Pengetahuannya mengenai kondisi perempuan Eropa memicu semangat dan pemikirannya untuk membebaskan kaum perempuan pribumi dari berbagai belenggu keterbelakangan. Sambil tetap membaca, ia rajin menulis surat berisikan perenungan dan pemikirannya untuk memajukan kaum perempuan pribumi.
       Surat-surat yang ia tulis memuat ide-idenya mengenai perbaikan dan persamaan hak kaum wanita pribumi. Kartini menginginkan perempuan pribumi (Jawa) dapat dengan bebas belajar dan menuntut ilmu melalui bangku sekolah. Kartini juga sangat berhasrat perempuan pribumi dapat keluar atau bebas dari kungkungan adat. Adat yang saat itu membelenggu perempuan pribumi, antara lain, perempuan diharuskan hidup dalam pingitan, bersedia dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan bersedia dimadu oleh suami.
       Dalam pandangan Kartini, adat menjadi penghambat serius terwujudnya kebebasan dan kemajuan perempuan pribumi. Belenggu adat menyebabkan perempuan pribumi hidup dalam kebodohan, keterbelakangan, dan dominasi kaum laki-laki. Secara langsung atau tidak langsung, perempuan pribumi tampak hidup dalam ketertindasan dan ketidakadilan. Keadaan ini memicu keprihatinan Kartini sekaligus menggerakkannya untuk mencetuskan gagasan pembebasan dan pemajuan kaum perempuan.
       Selain melalui surat dan tulisan, Kartini juga berupaya membebasakan kaum perempuan pribumi dari kungkungan adat melalui dunia pendidikan. Pendidikan diharapkan dapat membangkitkan kesadaran perempuan pribumi akan hak-haknya serta menjadikannya memiliki pengetahuan untuk maju. Dengan persetujuan dan dukungan sang suami, Kartini mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pribumi. Untuk merintis usahanya, ia mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Sepeninggal Kartini, sekolah ini berkembang pesat dengan ditandai pendirian sekolah-sekolah perempuan baru oleh Yayasan Kartini dengan nama “Sekolah Kartini” (Kartinischool) di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa kota lain.
       Namun, belenggu adat kiranya cukup sulit untuk dilawan. Di tengah perjuangannya melepaskan kaum perempuan dari belenggu adat, Kartini sendiri juga turut menjadi korban kekolotan adat. Biarpun anak seorang bangsawan yang memiliki status sosial tinggi, Kartini hanya bersekolah sampai usia 12 tahun, dan setelah itu menjalani hidup dalam pingitan. Ia bercita-cita dapat menjadi wanita maju dengan melanjutkan studi ke Eropa (Belanda), tetapi niat itu pupus akibat adat. Ia juga pernah hendak menempuh pendidikan guru di Batavia (tahun 1903), tetapi karena kendala adat juga hasrat itu kandas di tengah jalan. Mengenai yang terakhir ini, melalui sepucuk surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis,  “.... Singkat dan pendek saja bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi (belajar di sekolah guru Batavia) karena saya sudah akan kawin ....”
3.    Inspirasi bagi Gerakan Emansipasi
       Kartini bukanlah seorang pejuang yang turut langsung turun di medan tempur dengan memanggul senjata melawan kaum penjajah. Namun, ia tetap dinilai sebagai pejuang hak asasi, khususnya hak asasi kaum wanita. Apa yang dilakukannya tergolong luar biasa diukur dari keadaan zamannya. Di tengah cengkeraman kolonialisme Belanda, dominasi kaum laki-laki, dan kungkungan adat yang sangat ketat terhadap kaum wanita, Kartini mencetuskan gagasan yang progresif, yakni keharusan kaum perempuan pribumi keluar dari kungkungan adat dan lepas dari diskriminasi.
       Apa yang ia lakukan tergolong tabu pada zamannya, tetapi sangat positif untuk masa depan kaum perempuan. Ia berani menentang adat –– suatu hal yang saat itu tergolong rawan dan berbahaya –– demi kebebasan dan kemajuan kaum perempuan. Ide-idenya berusaha membebaskan kaum perempuan pribumi dari adat yang membelanggu selama berabad-abad. Dapat dikatakan, Kartini merupakan wanita pertama Indonesia yang mencetuskan gagasan tersebut pada saat wanita-wanita lain pasrah dalam situasi dan kondisi kehidupan yang represif dan diskriminatif.

       Kartini telah lama wafat meninggalkan kita. Namun, Kartini hanya meninggal secara fisik, sedangkan spirit perjuangan dan gagasan-gagasannya terus hidup dan memberi inspirasi bagi upaya pembebasan dan  pemajuan kaum perempuan Indonesia. Kematiannya meninggalkan warisan yang sangat berharga: ide emansipasi, yang pada waktu-waktu selanjutnya menjadikan wanita Indonesia jauh lebih bebas dan lebih maju (dibandingkan dengan kehidupan wanita pada masa Kartini hidup dahulu).

No comments:

Post a Comment