Saturday, December 24, 2016

Seri Pejuang dan Pahlawan Hak Asasi Manusia: Haji Johannes Cornelis Princen (1925–2002)

       

       Haji Johannes Cornelis Princen lahir di Den Haag, Belanda, pada tanggal 21 November 1925. Pria asli Belanda yang akrab dipanggil Poncke ini meninggal dunia tanggal 22 Februari 2002 akibat stroke. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur.  H.J.C. Princen meninggalkan seorang istri, Sri Mulyati, dan empat orang anak (Ratna, Iwan, Nico, dan Milanda).

       Princen menghabiskan masa kecil dan mudanya di Belanda dalam suasana perang. Setelah menamatkan sekolah dasar, Princen melanjutkan studi ke sekolah menengah seminari (1939–1943) dan pendidikan tentara perwira intelijen (1952). Princen beberapa kali pindah pekerjaan dan profesi. Perjalanan kariernya dimulai dari Biro Penasihat Ekonomi Teppema dan Vargroup Groothandel voor Chemische Producten di Den Haag (1942–1943), kemudian Stoottroepen Regiment Brabant, dan bekerja pada Bureau voor Nationale Veiligheid.
       Pada masa pendudukan Jerman di Belanda, Princen ditangkap Nazi, Jerman, dan disekap dicamp konsentrasi di tujuh kota di Eropa. Ia sempat dijatuhi hukuman mati, tetapi tidak sampai dieksekusi. Pada akhir tahun 1944, sesaat setelah bebas dari tawanan Nazi, ia ditahan pemerintah Belanda karena menolak wajib militer. Ia kemudian dengan terpaksa masuk dinas militer dan dikirim ke Indonesia. Di Indonesia, Princen tergabung dalam tentara kerajaan Hindia-Belanda, KNIL.

1.    Bergabung dengan Pasukan Indonesia
       Walaupun seorang tentara, Princen merasa sangat gerah dengan perang. Ia merasakan bahwa perang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Adapun penjajahan baginya merupakan bentuk penindasan. Menjadi serdadu dalam situasi perang dan penjajahan membuat pria bule ini seringkali merasa tak nyaman.
       Saat masih tinggal di negeri asalnya, Belanda, ia menyaksikan sekaligus merasakan sendiri kekejaman pasukan Jerman yang menjajah Belanda. Ketika menjadi tentara Belanda di Indonesia, ia juga menyaksikan dan merasakan langsung bagaimana kekejaman pasukan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Hati nuraninya terusik dan memberontak. Melalui pengalaman langsung, akal sehatnya kemudian dapat menyimpulkan bahwa negaranya, Belanda, tak ubahnya dengan Jerman: sama-sama melakukan kekejaman dan penindasan terhadap sesama manusia.
        Dalam situasi semacam itu, Princen mengalami pergulatan batin dilematis yang luar biasa. Ia mulai melakukan evaluasi diri. Jika tetap menjadi bagian dari pasukan Belanda dalam penjajahan di Indonesia, ia merasa tidak berbeda dengan para serdadu Nazi Jerman yang melalukan banyak pelanggaran kemanusiaan.
       Pada saat ratusan ribu pasukan Belanda tunduk pada komando parlemen Belanda untuk mempertahankan kolonialisme di Indonesia, ia justru mulai berpikir untuk keluar dari barisan pasukan negaranya. Demi mengikuti tuntutan hati nuraninya, ia pun akhirnya memutuskan untuk melakukan desersi dari pasukan Belanda serta bergabung dengan pasukan Indonesia. Dari serdadu penjajah yang melakukan serangkaian kekejaman, ia ingin berganti status menjadi serdadu bangsa terjajah yang berjuang untuk membela diri dari penindasan dan mempertahankan kemerdekaan.
       Pada tanggal 26 September 1948, Princen meninggalkan Jakarta serta menyeberang ke kubu pasukan Indonesia (TNI). Ia bergabung dengan pasukan Divisi Siliwangi untuk ikut mempertahankan Yogyakarta dari serangan dan pendudukan pasukan Belanda. Bersama Divisi Siliwangi, ia mengikuti longmarch dari Jawa Tengah ke Jawa Barat serta terus aktif dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda. Dalam sebuah pertempuran, Princen mendapatkan pukulan telak: istrinya –– seorang perempuan Sunda –– dibunuh tentara Belanda. Anak Princen yang masih dalam kandungan juga ikut meninggal bersama ibunya.
       Di negeri asalnya, Princen dikecam, dicaci maki, dan berkali-kali diancam akan dibunuh karena melakukan desersi. Ia dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Akan tetapi, ia tak peduli; ia tetap teguh berpihak kepada Indonesia. Untuk menanggapi hal itu, dalam sebuah percakapan dengan harian Kompas (dimuat pada edisi 26 November 2005) ia mengatakan, “Saya mengenal Symphoni ke-9 ciptaan Beethoven. Bunyi syairnya, antara lain, semua anak manusia harus bersaudara. Mengenai perasaan sesama saudara itu, saya rasakan ketika saya menjadi tahanan di kamp konsentrasi Jerman. Saya pernah akan dihukum mati. Dan itulah pengalaman dari sebuah negara yang pernah menjajah, yang kemudian dijajah negara lain.”

2.    Serdadu yang Humanis
       Pengalaman dan pergulatan Princen dalam kancah penjajahan dan peperangan yang penuh dengan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan membawanya pada tekad untuk menjadi pejuang kemanusiaan. Ia rela meninggalkan bangsa dan negara asalnya demi membela dan memperjuangkan hak-hak masyarakat korban penjajahan. Ia bahkan menyabung nyawa serta bersedia berperang melawan (pasukan) bangsa dan negara leluhurnya demi membantu rakyat Indonesia mempertahankan hak dan kemerdekaannya.
       Apa yang dilakukan Princen selama menjadi tentara sebenarnya sudah cukup jelas menunjukkan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Ia tidak seperti lazimnya serdadu yang umumnya bertempur untuk tujuan yang seringkali tidak jelas, selain membunuh dan menghancurkan. Bertempur dan berperang baginya adalah pilihan yang tak terhindarkan. Namun, ketika hal itu harus dikerjakan, ia melakukannya untuk membela pihak yang lemah dan diserang walaupun ia harus melawan bangsa dan negaranya sendiri.
       Bagi bangsa dan negara asalnya, Princen sangat mungkin tidak dianggap sebagai nasionalis dan patriotik –– dan apalagi sebagai pahlawan –– melainkan sebagai pengkhianat. Namun, bagi rakyat Indonesia, ia menunjukkan keberpihakan dan kesetiaannya yang sangat jelas sehingga dianggap sebagai pejuang. Adapun dalam sudut pandang objektif, tak meragukan lagi, ia dapat dikategorikan sebagai serdadu humanis, yang berjuang untuk membela dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

3.   Menjadi Pejuang Hak Asasi Manusia
       Seusai perang, Princen menulis dan mengirim surat kepada ibundanya di Belanda. Dalam suratnya ia menyampaikan niatnya untuk keluar dari ketentaraan serta mempelajari sejarah budaya atau sastra. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak ingin selamanya menjadi tentara. “Sementara ini saya masih bergabung dalam tentara (TNI) untuk sedikit menyumbang, tetapi sebisa mungkin saya akan keluar. Masih ada hal penting lain yang perlu dilakukan,” tulis Princen pada salah satu bagian suratnya.
       Dalam perjalanan hidup selanjutnya, menjadi jelas kemudian bahwa ‘hal penting lain yang perlu dilakukan’ itu adalah meneruskan perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di medan “pertempuran” yang lain. Sekeluarnya dari ketentaraan, kisah perjuangan Princen  memasuki lembaran baru. Ia tidak lagi bertempur di medan perang untuk membela masyarakat terjajah, melainkan aktif “bertempur” melalui jalur politik dan hukum untuk memperjuangkan hak asasi manusia kaum miskin dan tertindas.
       Pada tahun 1956 Princen memasuki dunia politik dengan menjadi anggota parlemen (DPR) untuk mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pada dasawarsa 1950-an yang penuh dengan perdebatan konstitusi, ia menjadi salah satu tokoh politik yang penting dan populer. Ia berusaha memperjuangkan terwujudnya komunikasi politik yang peduli dengan hak-hak rakyat.
       Akibat merasakan iklim politik yang tidak sehat karena diwarnai oleh banyaknya penyelewengan, ia kemudian keluar dari parlemen serta memilih berjuang dari luar tembok politik. Ia vokal mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno yang memasuki akhir tahun 1950-an mulai bertindak otoriter –– terutama karena keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Akibat sikapnya, Princen ditangkap dan dipenjara (1957–1958). Sekeluarnya dari penjara ia mencoba lagi memperjuangkan hak-hak rakyat melalui organisasi yang ia dirikan, Liga Demokrasi. Akibat sikap vokalnya yang kembali mengkritik pemerintahan Soekarno yang makin sewenang-wenang terhadap masyarakat, ia lagi-lagi ditangkap dan dipenjara (1962–1966).
       Untuk membela kaum miskin dan tertindas, sejak pertengahan tahun 1960-an Princen mulai merambah dunia hukum. Pada tahun 1966 ia mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Ia turut mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1970). Ia juga turut aktif mendirikan koalisi hak asasi manusia Indonesia Front for Defending Human Right(1989), Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (1990), dan juga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (1998).
       Sebagai pengacara, Princen menjadi pembela hukum bagi masyarakat Tanjungpriok, Jakarta, korban pembantaian militer Orde Baru tahun 1984 serta pendamping puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Menteri Dalam Negeri, Rudini (1989). Princen melakukan pembelaan hukum dengan prinsip nondiskriminasi, yakni tidak membeda-bedakan asal-usul, agama, ras, dan sejenisnya. Ia membuktikannya, antara lain, dengan menjadi pelindung hukum masyarakat dan mahasiswa Timor Timur korban penyerangan militer Orde Baru serta menjadi pembela mantan lawan politiknya, yakni para mantan anggota PKI dan orang-orang yang dituduh simpatisan PKI yang pernah mengalami pembantaian massal.
       Dari seorang serdadu yang humanis, Princen benar-benar dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia. Konsistensi perjuangannya dalam menegakkan hak asasi manusia ia pertahankan sampai akhir hayatnya. Ia seperti tak pernah lelah serta tak mengenal waktu dan keadaaan dalam berikhtiar membela kaum tertindas. Sejak tahun 1996, karena usia tua dan stroke, ia sudah tidak dapat berjalan normal dan harus menggunakan kursi roda, tetapi ia masih mendampingi para simpatisan PDIP korban penyerangan rezim Orde Baru (dalam kasus 27 Juli 1996). Pada pertengahan tahun 2001 –– berarti beberapa bulan sebelum wafat (22 Februari 2002) –– ia juga masih menyempatkan diri mengabdi bagi kemanusiaan dengan mendampingi sebagian masyarakat Jakarta korban penggusuran aparat Pemerintah Provinsi DKI.
       Princen dapat dikatakan merupakan pejuang hak asasi manusia tulen yang jalan hidupnya penuh pergolakan batin, kaya warna, heroik, dan sarat dengan pengalaman menjadi korban “penipuan” dan penindasan rezim penguasa. Ia pasti merasakan pergulatan batin yang luar biasa ketika harus membelot menjadi pejuang Indonesia serta kemudian berperang melawan pasukan bangsa dan negara leluhurnya. Ia mengecap pengalaman  yang penuh nuansa saat setelah menjadi serdadu kemudian berjuang membela hak asasi manusia melalui dunia politik dan hukum. Ia barangkali juga merasa “tertipu” setelah menjadi warga negara Indonesia yang pernah dibelanya dan diharapkannya dapat menjadi negeri yang bebas dari penindasan, ternyata ia sendiri kemudian justru seringkali menjadi korban kesewenang-wenangan rezim pemerintah negara barunya –– baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, ia berkali-kali mengalami penangkapan dan pemenjaraan secara tidak adil.
       Akan tetapi, untuk jasa-jasanya yang luar biasa dalam upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, Princen juga mendapatkan apresiasi yang tinggi –– suatu hal yang sudah semestinya ia terima. Para tokoh, sahabat-sahabatnya, dan banyak kalangan masyarakat menyebutnya sebagai pejuang sejati hak asasi manusia. Konsistensi dan dedikasi Princen dalam memperjuangkan hak asasi manusia juga mengantarkannya menjadi penerima anugerah Yap Thiam Hien Award untuk tahun 1992.

No comments:

Post a Comment